Jejak Kosmologis, Peradaban Kerajaan, dan Identitas yang Tak Padam
Suku Bugis merupakan salah satu komunitas etnis paling berpengaruh di Indonesia bagian timur. Mereka telah lama menghuni pesisir dan dataran subur Sulawesi Selatan mulai dari Bone, Wajo, Soppeng, Luwu, Sidrap, hingga berbagai wilayah yang kini menjadi pusat kebudayaan Bugis. Namun sesungguhnya jangkauan mereka jauh melampaui batas geografis Sulawesi. Jejak budaya dan diaspora Bugis dapat ditemukan di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, Semenanjung Melayu, Mindanao, bahkan hingga Australia utara.
Untuk memahami asal-usul mereka, kita harus memasuki dunia yang tak hanya ditopang fakta sejarah, tetapi juga tradisi lisan, mitologi, dan naskah kuno lontara dokumen yang menjadi penanda bagaimana masyarakat Bugis merekam perjalanan hidup mereka. Sejarah Bugis bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan wujud pandangan kosmologis yang memadukan manusia, alam, dan ketuhanan dalam satu garis besar peradaban.
1. Makna Nama “Bugis” dan Jejak Tokoh La Sattumpugi
Nama “Bugis” bersumber dari kata "Ugi", yang merujuk pada figur heroik La Sattumpugi, raja pertama Kerajaan Cina sebuah kerajaan tua di wilayah Wajo, bukan negara Tiongkok modern. Dalam tradisi Bugis, para pengikut raja ini menyebut diri mereka “To Ugi” atau “orang yang mengikuti La Sattumpugi”.
Seiring berjalannya waktu, penyebutan tersebut berubah menjadi “Bugis”, sebuah identitas yang bukan sekadar label etnis, tetapi simbol solidaritas, kesetiaan, dan kebanggaan. Identitas ini kemudian menjadi pengikat kuat di antara masyarakat Bugis, baik yang tinggal di kampung halaman maupun yang merantau ke luar negeri.
2. Asal Usul Kosmologis: Kisah Langit, Laut, dan Sawerigading
Sejarah Bugis tidak bisa dilepaskan dari epos I La Galigo, salah satu karya sastra terbesar yang pernah lahir dari Nusantara. Naskah ini begitu panjang hingga melampaui total halaman Iliad dan Odyssey. I La Galigo bukan hanya cerita, tetapi representasi pandangan dunia Bugis yang menghubungkan langit, bumi, dan manusia.
Dalam epos ini dikisahkan bahwa Batara Guru, putra penguasa langit, diturunkan ke bumi untuk mengatur kehidupan manusia dan membentuk tatanan baru. Dari garis keturunannya lahir pahlawan agung Sawerigading, seorang pelaut pemberani yang menempuh lautan luas dan menjadi lambang kekuatan maritim Bugis.
Bagi masyarakat Bugis, kisah-kisah dalam I La Galigo bukanlah sekadar legenda, tetapi fondasi nilai budaya. Di dalamnya terdapat ajaran tentang keseimbangan, tanggung jawab moral, kehormatan, dan hubungan manusia dengan alam yang hingga kini terus mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
3. Lahirnya Kerajaan-Kerajaan Bugis dan Struktur Sosial Awal
Berbekal sistem sosial yang semakin kompleks, masyarakat Bugis mulai mendirikan kerajaan-kerajaan sekitar abad ke-13 hingga 14. Lontara mencatat munculnya beberapa kerajaan besar seperti:
- Kerajaan Bone, pusat kekuatan politik terbesar.
- Wajo, kerajaan bercorak demokratis yang unik di Nusantara.
- Soppeng, pusat kekuasaan di dataran tinggi.
- Luwu, kerajaan tua yang menjadi poros spiritual dan ekonomi.
- Sidenreng dan Sidrap, wilayah agraris yang berperan dalam perdagangan.
Hubungan antarkerajaan Bugis pun penuh dinamika kadang damai dan bekerja sama, kadang terlibat persaingan sengit. Namun justru pola hubungan inilah yang membentuk kecerdikan diplomasi dan ketahanan politik masyarakat Bugis.
4. Islamisasi dan Perubahan Struktur Budaya
Sebelum Islam datang, masyarakat Bugis memeluk kepercayaan animistik yang dipengaruhi kosmologi I La Galigo. Mereka menghormati dewata langit dan leluhur yang diyakini menjaga keseimbangan dunia.
Saat Islam mulai masuk pada abad ke-17 melalui jaringan perdagangan dan ulama dari Gowa-Tallo terjadi transformasi besar. Islam diterima dengan penuh kehormatan dan kemudian berpadu dengan adat lokal melalui prinsip Ade’ na Sara’: perpaduan antara adat (ade’) dan syariat agama (sara’). Model akulturasi ini menciptakan karakter masyarakat Bugis yang unik: religius, namun tetap teguh mempertahankan nilai-nilai leluhur.
5. Semangat Merantau dan Lahirnya Diaspora Bugis
Salah satu karakter paling menonjol dari Bugis adalah massompe’, tradisi merantau yang telah berlangsung selama berabad-abad. Bagi orang Bugis, merantau bukan sekadar keluar dari tanah kelahiran, tetapi perjalanan memperjuangkan kehormatan keluarga atau yang dikenal sebagai Siri’.
Para pelaut Bugis terkenal sebagai navigator ulung. Mereka mengarungi perairan Nusantara hingga Asia Tenggara, mendirikan permukiman, mengembangkan perdagangan, dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Jejak mereka masih terlihat di berbagai daerah:
- Johor dan Selangor (Malaysia)
- Pontianak dan wilayah pesisir Kalimantan
- Kepulauan Maluku
- Mindanao dan Sulu (Filipina Selatan)
- Teluk Carpentaria (Australia Utara)
6. Warisan Budaya yang Tetap Hidup di Zaman Modern
Meski dunia terus bergerak, akar budaya Bugis tetap kuat. Bahasa Bugis masih dituturkan, aksara Lontara terus dipelajari kembali, dan nilai-nilai luhur seperti Siri’ na Pacce tetap menjadi pegangan hidup.
- Siri’ melambangkan harga diri dan integritas moral.
- Pacce menekankan nilai empati, solidaritas, dan rasa kemanusiaan.
Kini banyak daerah di Sulawesi Selatan menggelar festival budaya, karnaval Pinisi, revitalisasi naskah lontara, serta pendidikan budaya di sekolah. Generasi mudanya pun semakin bangga mengenakan baju bodo, memainkan musik tradisional, dan ikut melestarikan tari-tari adat.
Penutup: Identitas Bugis yang Tak Pernah Padam
Penutup: Identitas Bugis yang Tak Pernah Padam
Asal-usul Suku Bugis adalah perpaduan antara mitologi kosmologis, catatan sejarah kerajaan, semangat pelaut, dan nilai moral yang kuat. Dari Batara Guru hingga Sawerigading, dari kerajaan Wajo sampai diaspora di Johor, Bugis telah membuktikan dirinya sebagai bangsa pejuang, penjelajah, dan penjaga kehormatan.
Selama nilai Siri’ na Pacce tetap hidup dalam hati mereka, semangat Bugis tidak akan pernah padam. Ia akan terus berlayar menembus zaman seperti Pinisi yang membelah ombak membawa kebanggaan Bugis ke seluruh penjuru dunia.
Admin by : Andi Putri
.jpg)