Pembagian 5 Jenis Gender Dalam Suku Bugis

Sistem Sosial dan Peran Gender Suku Bugis: Harmoni, Kehormatan, dan Keseimbangan Hidup
Di tanah Sulawesi Selatan yang subur dan kaya budaya, Suku Bugis menorehkan sejarah bukan hanya melalui pelayaran, perdagangan, atau kejayaan kerajaannya, tetapi juga melalui sistem sosial yang sarat makna filosofi. Dalam kehidupan sehari-hari, tatanan sosial Bugis bukan sekadar klasifikasi manusia berdasarkan status atau garis keturunan, melainkan jaringan nilai yang menyeimbangkan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab terhadap sesama.

Di sinilah terlihat bahwa masyarakat Bugis memahami kehidupan sebagai seni menjaga keseimbangan: antara individu dan komunitas, antara laki-laki dan perempuan, antara manusia dan alam, bahkan antara jasmani dan rohani.
 
1. Struktur Sosial: Hierarki yang Tegas namun Lembut
Secara tradisional, masyarakat Bugis terbagi menjadi tiga lapisan utama:
  • Ana’ Karaeng (bangsawan) - pemimpin adat, penjaga kerajaan, simbol garis keturunan mulia.
  • To Maradeka (rakyat bebas) - petani, pedagang, nelayan, dan warga biasa yang hidup merdeka dengan hak dan kewajiban.
  • Ata (hamba sahaya) - mereka yang bekerja di bawah perlindungan bangsawan, namun tetap dihormati dalam kapasitasnya.
Meskipun terlihat hierarkis, sistem ini tidak kaku atau menindas. Orang Bugis menanamkan rasa hormat kepada semua lapisan sosial, dan kehormatan sejati bukan ditentukan oleh darah biru semata, melainkan oleh siri’harga diri dan martabat yang menjadi napas kehidupan.

Seorang Bugis rela mempertaruhkan harta, bahkan nyawa, demi menjaga siri’. Kehilangan harta dianggap ringan, tetapi kehilangan siri’ sama artinya dengan kehilangan jati diri di mata masyarakat dan leluhur. Prinsip ini membentuk masyarakat yang disiplin, bermartabat, dan bertanggung jawab, di mana setiap individu tahu posisinya namun tetap dihargai atas nilai dan integritasnya.

2. Peran Gender: Keseimbangan Antara Laki-Laki dan Perempuan
Salah satu keistimewaan budaya Bugis adalah pandangan mereka terhadap gender. Dalam masyarakat yang menekankan kehormatan dan tanggung jawab, perempuan Bugis memiliki posisi yang kuat dan terhormat.

Konsep “Makassaraé ri alebbirenna”, atau perempuan sebagai penopang kehidupan, menegaskan bahwa wanita bukan sekadar pelengkap, tetapi inti kekuatan rumah tangga, penjaga moral, dan penentu keharmonisan keluarga. Perempuan Bugis memegang kendali atas urusan domestik dan ekonomi, sekaligus turut menentukan keputusan penting, terutama yang terkait dengan kehormatan keluarga.

Di sisi lain, laki-laki Bugis dikenal warani: berani, tegas, dan bertanggung jawab. Mereka dilatih sejak muda untuk menjadi pelindung keluarga, pembela siri’, dan penegak keadilan. Namun keberanian ini bukan berarti keras kepala; laki-laki sejati juga harus memiliki kelembutan, kebijaksanaan, dan kesetiaan terhadap janji, selaras dengan falsafah reso temmangingngi namalomo naletei pammase dewata: usaha yang tak pernah menyerah akan disertai berkah Tuhan.

Harmoni antara peran laki-laki dan perempuan membentuk tatanan sosial yang seimbang dan saling melengkapi, menjadikan masyarakat Bugis kuat dalam solidaritas dan bermartabat.

3. Lima Gender: Pemahaman Masyarakat yang Luar Biasa
Salah satu aspek paling unik dan maju dari budaya Bugis adalah pengakuan terhadap lima identitas gender. Lima peran ini melampaui sekadar klasifikasi biologis:
  • Oroané - laki-laki sejati, maskulin, pelindung dan pemimpin.
  • Makunrai - perempuan sejati, feminin, penjaga harmoni rumah tangga.
  • Calalai - perempuan yang mengambil peran sosial laki-laki.
  • Calabai - laki-laki yang mengambil peran sosial perempuan.
  • Bissu - sosok spiritual, memadukan maskulin dan feminin, dianggap suci dan berperan sebagai penghubung dunia manusia dan roh.
Bissu memegang posisi istimewa dalam ritual dan adat, menjadi penjaga pusaka, pelantun doa sakral, dan pelaksana upacara kerajaan. Kehadiran Bissu menunjukkan pemahaman Bugis tentang identitas gender dan spiritualitas yang jauh melampaui norma tradisional pada zamannya.

4. Nilai Sosial: Siri’ na Pacce sebagai Pengikat Kehidupan
Masyarakat Bugis menjunjung tinggi prinsip “Siri’ na Pacce” kombinasi kehormatan dan empati.
  • Siri’ mencegah seseorang melakukan tindakan memalukan.
  • Pacce (atau pesse) menumbuhkan kepedulian terhadap penderitaan orang lain.
Keduanya saling melengkapi. Siri’ menjaga martabat, pacce menjaga kemanusiaan. Prinsip ini tercermin dalam gotong royong (massolong), solidaritas kampung, dan partisipasi aktif dalam pesta adat.

Berkat nilai ini, masyarakat Bugis dikenal kompak, kolektif, dan berjiwa sosial tinggi. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk menjaga nama baik keluarga, komunitas, dan leluhur.

5. Harmoni antara Martabat dan Kemanusiaan
Sistem sosial dan peran gender Bugis bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah cermin kebijaksanaan:
  • Menjaga kehormatan diri tanpa menindas orang lain.
  • Berani dan tegas, namun tetap lembut dan bijaksana.
  • Menjunjung tanggung jawab sosial, sekaligus menghormati hak individu.
Dalam dunia modern yang serba cepat, nilai Bugis mengajarkan bahwa harga diri bukan diukur dari kedudukan, tetapi dari kemampuan menjaga siri’ na pacce dalam setiap langkah hidup.

Suku Bugis menunjukkan kepada dunia bahwa masyarakat yang harmonis tidak lahir dari kekuasaan semata, tetapi dari keseimbangan antara martabat, keberanian, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Dari sistem sosial yang terstruktur hingga pengakuan lima gender, dari prinsip siri’ na pacce hingga keseimbangan peran laki-laki dan perempuan, budaya Bugis tetap relevan sebagai panduan hidup manusia yang bermartabat, adil, dan penuh kasih.

Admin : Andi Salsabila