Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Bugis - Sulawesi Selatan

Menelusuri Jejak Kerajaan-Kerajaan Bugis
Sejarah Suku Bugis tak bisa dilepaskan dari kisah tentang lahirnya kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Jauh sebelum Indonesia dikenal sebagai satu kesatuan negara, bumi Bugis telah menjadi saksi peradaban yang kaya, teratur, dan berpengaruh. Dari pesisir hingga pegunungan, dari Danau Tempe hingga Teluk Bone, berdirilah kerajaan-kerajaan yang mewarnai perjalanan budaya dan politik masyarakatnya.

Bagi orang Bugis, kerajaan bukan sekadar simbol kekuasaan. Ia adalah pusat kehormatan, kebersamaan, dan hukum adat tempat rakyat hidup di bawah bimbingan ade’ (adat) dan sara’ (ajaran agama). Setiap kerajaan memiliki cerita, nilai, dan tokoh yang membentuk sejarah Nusantara.

1. Awal Mula Kerajaan Bugis
Awalnya, masyarakat Bugis hidup dalam kelompok-kelompok kecil bernama wanua, semacam desa mandiri yang dipimpin kepala adat. Seiring waktu, hubungan antar-wanua berkembang dan membentuk sistem kerajaan.

Menurut naskah kuno Lontara, kerajaan-kerajaan pertama muncul sekitar abad ke-13 hingga ke-14 Masehi. Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng menjadi tonggak peradaban Bugis modern. Tiap kerajaan memiliki peran khas: ada pusat perdagangan, penjaga adat, hingga kerajaan yang kuat secara militer.

2. Luwu: Sang Tua yang Sakral
Kerajaan Luwu (Luwuq) dianggap yang tertua dan paling berpengaruh. Terletak di pesisir timur Sulawesi Selatan, Luwu menata sistem pemerintahan dan perdagangan laut yang maju.

Dalam legenda, Luwu adalah tempat Batara Guru turun dari langit menurut mitologi I La Galigo, menjadikan kerajaan ini sakral dan memiliki hubungan spiritual dengan dunia dewa. Raja Luwu memimpin tidak hanya secara politik, tapi juga menjaga keseimbangan alam dan kehidupan spiritual rakyatnya.

Luwu berkembang menjadi kerajaan maritim makmur, dengan pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari Maluku, Kalimantan, dan Jawa. Besi pegunungan setempat menjadi komoditas penting, sementara sungai-sungai besar menjadi jalur perdagangan rempah dan hasil bumi.

3. Bone: Kekuatan dan Tegasnya Adat
Di selatan Teluk Bone berdiri Kerajaan Bone, simbol kekuatan Bugis. Didirikan sekitar abad ke-14, Bone dipimpin oleh Arung (raja) yang tegas.

Tokoh legendaris Arung Palakka (1634-1696) dikenal karena keberaniannya melawan dominasi Kerajaan Gowa. Bersama pasukan sekutunya, ia memulihkan kejayaan Bone dan memperluas pengaruhnya.

Lebih dari peperangan, Bone menonjol karena sistem hukum kuat yang dikenal sebagai Pangadereng: terdiri dari Ade’ (adat), Bicara (hukum), Rapang (preseden), Wari’ (stratifikasi sosial), dan Sara’ (ajaran agama). Sistem ini menjadikan Bone teratur dan disegani.

4. Wajo: Demokrasi dan Musyawarah Adat
Wajo memiliki karakter unik, menekankan kebebasan dan demokrasi adat. Tidak dipimpin seorang raja tunggal, melainkan Arung Patampulu, dewan 40 pemimpin adat.

Pemerintahan Wajo menekankan musyawarah dan kesetaraan, sehingga setiap keputusan didasarkan pada prinsip keadilan dan kebijaksanaan. Wajo juga menjadi pusat pendidikan, kesusastraan, dan perdagangan. Para pedagangnya dikenal lihai dan dipercaya di Nusantara.

5. Soppeng: Negeri Kebijaksanaan
Kerajaan Soppeng dikenal sebagai “Negeri Cendekia”, lahirkan pemikir, pujangga, dan ahli hukum adat. Nilai luhur mappesona ri ade’ mengajarkan menyesuaikan diri dengan adat tanpa kehilangan prinsip. Soppeng menjadi penengah antara Bone dan Wajo dalam persekutuan Tellumpoccoé.

6. Tellumpoccoé: Persatuan Tiga Kerajaan
Abad ke-16 menyaksikan terbentuknya aliansi Bone, Wajo, dan Soppeng: Tellumpoccoé. Aliansi ini dibangun atas persaudaraan, kesetaraan, dan perlindungan bersama dari ancaman luar, terutama dari Gowa dan Tallo.

Tellumpoccoé menjadi simbol persatuan, kerja sama militer, ekonomi, hukum, dan budaya. Nilai siri’ (harga diri), lempu’ (kejujuran), dan pacce (solidaritas) mengakar kuat dalam masyarakat Bugis hingga kini.

7. Masa Islamisasi dan Sinergi Adat
Abad ke-17 membawa Islam ke wilayah Bugis melalui ulama dan saudagar. Raja-raja Bugis memeluk Islam, menyatu dengan adat lama, membentuk falsafah “Ade’ na Sara’”: adat dan agama berjalan berdampingan. Sistem pemerintahan pun menjadi lebih kokoh, berpadu antara tradisi dan ajaran universal Islam.

8. Warisan dan Nilai yang Abadi
Meski kerajaan-kerajaan Bugis telah berlalu, warisan mereka tetap hidup:
  • Kepemimpinan yang bijaksana
  • Sistem sosial dan hukum yang kokoh
  • Arsitektur istana, tarian adat, upacara, dan naskah lontara
Semangat Tellumpoccoé masih menjadi simbol persatuan masyarakat Bugis di tanah air. Dari Luwu yang sakral, Bone yang kuat, Wajo yang demokratis, hingga Soppeng yang bijaksana, semuanya menorehkan warna khas dalam sejarah Nusantara.

Di balik semua itu, satu nilai terus hidup di jiwa Bugis:

“Siri’ na Pacce” - harga diri dan empati.

Selama nilai ini terjaga, roh kerajaan-kerajaan Bugis tetap abadi dalam bahasa, adat, dan hati setiap generasi yang bangga menyebut dirinya “To Ugi”, anak peradaban besar Sulawesi Selatan.

Admin : Andi Yuli AR